Alasan Roy Suryo Cs Lapor ke Komnas HAM Usai Jokowi Bikin Laporan Tudingan Ijazah Palsu
bacayuk.com – Jakarta – Polemik mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali memanas. Kali ini, kubu yang menuding ijazah Jokowi palsu, yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauzia Tyassuma (alias Dokter Tifa), Rizal Fadillah, dan Kurnia, mengambil langkah hukum baru.
Pada Rabu, 21 Mei 2025, mereka secara resmi melaporkan dugaan pelanggaran hak asasi manusia ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), menyusul laporan pidana yang sebelumnya dibuat oleh Presiden Jokowi terhadap mereka di Polda Metro Jaya.
Langkah ini menjadi titik penting dalam eskalasi isu hukum dan politik yang menyentuh langsung kredibilitas kepala negara serta kebebasan berekspresi dan berpendapat warga negara. Mengapa Roy Suryo dan rekan-rekannya memilih jalur HAM? Apa yang menjadi dasar keberatan mereka? Simak ulasan lengkap berikut.
Latar Belakang Kasus: Tudingan Ijazah Palsu Jokowi
Isu terkait keaslian ijazah Presiden Joko Widodo telah berulang kali mencuat di ruang publik. Sejumlah pihak, termasuk tokoh masyarakat dan akademisi, mempertanyakan validitas dokumen pendidikan orang nomor satu di Indonesia tersebut. Salah satu kelompok yang vokal menyuarakan isu ini adalah Roy Suryo dan kawan-kawan.
Roy Suryo sendiri adalah mantan Menteri Pemuda dan Olahraga yang dikenal sebagai pakar telematika. Dalam beberapa kesempatan, ia menyatakan bahwa tudingan yang disampaikan pihaknya bersifat akademis dan berdasarkan analisis dokumen serta informasi publik.
Namun, pada 30 April 2025, Presiden Jokowi resmi melaporkan mereka ke Polda Metro Jaya dengan tuduhan penyebaran informasi palsu yang melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dasar Pelaporan ke Komnas HAM: Tudingan Kriminalisasi
Dalam keterangannya kepada media di Komnas HAM, Ahmad Khozinudin selaku Koordinator Non Litigasi Tim Advokasi Anti Kriminalisasi Akademisi dan Aktivis menjelaskan bahwa laporan ini dilayangkan karena klien-kliennya merasa mengalami tindakan kriminalisasi oleh Presiden Jokowi.
“Dalam rangka untuk mengadukan dugaan pelanggaran hak manusia yang kami duga dilakukan oleh Saudara Joko Widodo berkaitan dengan adanya sejumlah tindakan kriminalisasi,” ujar Khozinudin.
Menurut mereka, laporan Jokowi terhadap Roy Suryo Cs dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak asasi, terutama hak untuk menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi. Mereka menilai bahwa menyampaikan pertanyaan atau pendapat mengenai keaslian dokumen publik dari seorang pejabat negara tidak semestinya berujung pada proses pidana.
Roy Suryo: “UU ITE Dipaksakan”
Roy Suryo menyatakan bahwa penggunaan UU ITE sebagai dasar laporan terhadap dirinya dan rekan-rekannya merupakan tindakan yang dipaksakan dan menyimpang dari tujuan awal pembentukan undang-undang tersebut.
“Undang-Undang ITE, yang alhamdulillah saya termasuk perancangnya itu, tidak digunakan untuk itu, tapi dipaksakan untuk kemudian digunakan menjerat masyarakat biasa,” kata Roy.
Sebagai mantan anggota DPR RI yang turut merancang UU ITE, Roy merasa bahwa pasal-pasal dalam UU tersebut kini digunakan secara serampangan untuk membungkam kritik dan pertanyaan publik, bukan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan digital sebagaimana tujuan awalnya.
Kritik terhadap Proses Hukum yang Dianggap Tidak Adil
Salah satu poin penting yang disampaikan oleh pihak pelapor di Komnas HAM adalah adanya dugaan diskriminasi hukum. Mereka menyoroti perbedaan kecepatan penanganan laporan antara kubu mereka dengan pihak Presiden.
Laporan mereka ke Bareskrim Polri tentang dugaan ijazah palsu sudah dimasukkan enam bulan yang lalu, namun hingga kini belum menunjukkan perkembangan signifikan. Sebaliknya, laporan dari Presiden Jokowi ke Polda Metro Jaya, yang baru dibuat pada 30 April 2025, diproses dengan sangat cepat.
“Kenapa kami juga keluhkan soal hak tentang keadilan di depan hukum yang sama tanpa diskriminasi? Karena klien kami ini diperlakukan diskriminatif,” tegas Khozinudin.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang integritas penegakan hukum di Indonesia, serta sejauh mana independensi aparat hukum dalam menangani kasus yang melibatkan tokoh-tokoh penting.
Tindakan Berdasarkan Ilmu Pengetahuan?
Tim advokasi juga menjelaskan bahwa yang dilakukan oleh Roy Suryo dan kawan-kawan bukanlah tuduhan tak berdasar, melainkan merupakan bagian dari upaya akademik. Mereka menyatakan bahwa pertanyaan mengenai keaslian ijazah Jokowi merupakan pertanyaan publik yang sah dan wajar.
Roy Suryo Cs, kata mereka, hanya menyuarakan apa yang menjadi kegelisahan publik dengan pendekatan ilmiah dan berdasar fakta-fakta yang dapat diuji.
“Pertanyaan terkait keaslian ijazah Saudara Joko Widodo itu merupakan pertanyaan seluruh rakyat Indonesia dan inilah yang sebenarnya sedang diungkap,” pungkas Khozinudin.
Tudingan “Pasal Selundupan” dalam UU ITE
Selain mempermasalahkan kriminalisasi, pihak Roy Suryo Cs juga mengeluhkan adanya apa yang mereka sebut sebagai “pasal selundupan” dalam proses hukum yang dijalani.
Menurut mereka, beberapa pasal yang dijadikan dasar hukum dalam laporan Jokowi tidak relevan atau bahkan tidak ada dalam UU ITE secara spesifik terhadap isu ijazah palsu.
“Kami juga tadi sudah sampaikan komplain tentang sejumlah pasal-pasal selundupan yang di dalam Undang-Undang ITE itu tidak ada relevansinya dengan apa yang dikeluhkan oleh saudara Joko Widodo,” tegas Khozinudin.
Ini menambah daftar panjang persoalan dalam penggunaan UU ITE yang selama ini memang menuai kontroversi karena kerap dianggap membatasi kebebasan berpendapat.
Reaksi Publik dan Dampak Politik
Kasus ini tidak hanya menjadi polemik hukum, tapi juga memicu reaksi publik luas. Di media sosial, tagar terkait ijazah Jokowi kembali mencuat. Sebagian masyarakat mendukung langkah Roy Suryo Cs sebagai bentuk perjuangan atas transparansi pejabat negara. Namun tidak sedikit pula yang menilai bahwa isu ini sudah berulang kali dibantah dan diselesaikan secara hukum.
Dari sisi politik, langkah pelaporan ke Komnas HAM ini bisa memberi tekanan moral dan citra terhadap pemerintah, khususnya menjelang tahun politik mendatang. Ia menunjukkan bahwa perbedaan pendapat masih seringkali berujung kriminalisasi, bukan dialog yang sehat.
Antara Hak Asasi dan Kepentingan Politik
Kasus pelaporan Roy Suryo Cs ke Komnas HAM menyusul laporan Jokowi tentang tudingan ijazah palsu adalah cerminan ketegangan antara kebebasan berekspresi dan perlindungan reputasi pejabat publik. Masyarakat tentu berharap agar persoalan ini tidak hanya selesai di ranah hukum, tetapi juga memberi pelajaran tentang pentingnya keadilan, transparansi, dan penghormatan terhadap hak-hak dasar warga negara.
Apakah pertanyaan tentang keaslian ijazah seorang presiden adalah hak publik? Ataukah ini merupakan bentuk pencemaran nama baik yang harus ditindak? Perdebatan ini masih akan terus berjalan, dan Komnas HAM menjadi titik harapan baru dalam menemukan keadilan atas kebebasan menyampaikan pendapat di negeri demokrasi ini.